Rabu, 06 Agustus 2008

Di telaga itu, Rosul Menanti

Manusia agung itu memang telah tiada. Setelah dua puluh tiga tahun menebar cahaya islam dengan penuh cinta dan kasih sayang untuk menyelamatkan kita, manusia, beliau pergi menemui Rabbnya. Kepergiannya membuat seisi dunia menangis. Bukan hanya para sahabat yang begitu sangat mencintainya, tapi mimbar dan tongkat yang selalu menemaninya saat berkhutbah, pun ikut berguncang hebat tanda keduanya sedang berduka.
Sungguh wajar, jika lelaki seperti Umar bin Khattab yang terkenal keras, tegas dan tegar, kemudian tiba-tiba panik dan kehilangan kesadaran. Sambil menghunus pedang ia berteriak lantang “Siapa yang mengatakan Muhammad telah mati akan aku tebas batang lehernya”. Juga Bilal, sang muadzin kesayangan yang imannya tak luluh diterba cambuk dan bongkahan batu panas, tampak lesu dan seperti tak punya asa untuk hidup. Ia tidak lagi hendak melantunkan adzan meski Abu Bakar telah berulang kali merayunya. Cinta berbalas cinta.

Meskipun telah tiada, namun kecintaan sang Nabi kepada kita umatnya tiada pernah henti. Walau terkadang yang dicinta tak pandai membalas cinta, juga tak sadar kalau selalu didoakan keselamatan dan ditangisi kesulitan yang menimpanya. Kecintaannya terbawa mati. Bahkan tidak berujung. Cinta itu selalu hadir kapan dan bagaimanapun situasinya. Tak kenal suka maupun duka. Tak terbatas dunia dan akhirat. Tak terbedakan disaat aman atau sedang huru-hara. Disaat seorang ibu dan seorang anak tidak saling mengenal, sekalipun.

Disana, dipadang mahsyar, ketika segenap kita disibukkan oleh urusan kita masing-masing. Ketika kita digiring secara kasar menuju pengadilan Tuhan Yang Maha Bijaksana. Ketika kita dikumpulkan dalam keadaan telanjang dan tanpa alas kaki. Ketika matahari matahari dengan sinarnya yang membakar hanya berjarak satu hasta dari atas kepala. Ketika rasa haus mencekik tenggorokan. Ketika ini dan itu terjadi, cinta itu kembali hadir. Ya, hadir dalam sebuah telaga yang indah nan menyegarkan. Yang semua orang pasti berharap dapat meneguk airnya di tengah berbagai kesulitan yang mendera.
Riwayat tentang telaga itu sungguh banyak terjadi. Tak perlu kita perdebatkan keabsahannya, karena para sahabat dan ulama hingga kini semua membicarakannya. Kita hanya tinggal meyakininya, sebagai bukti iman kepada Allah dan hari akhirat-Nya.
Anas bin Malik pernah bercerita, “Suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang berada ditengah-tengah kami, beliau mengantuk. Mendadak beliau terbangun sambil tersenyum. Kami bertanya, “Kenapa engkau tersenyum, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Baru saja turun sebuah surat kepadaku.” Beliau lalu membaca surat Al-Kautsar. Kemudian bertanya, “Tahukah kalian, apa itu Al-Kautsar?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau bersabda, “Ia adalah sebuah telaga penuh dengan kebajikan yang dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku. PAda hari kiamat nanti umatku akan mendatangi telaga itu.” (HR. Muslim)

Ibnu Abbas ra juga pernah berkata, “Rasulullah ditanya tentang Padang Mahsyar tempat mahluk menghadap Allah; apakah disana ada air?” Beliau menjawab, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, disana ada air. Orang-orang yang dikasihi Allah akan mendatangi telaga para Nabi. Allah akan utus tujuh puluh ribu malaikat dengan tangan memegang tongkat dari neraka yang digunakan untuk menghalau orang-orang kafir dari telaga para nabi.”

Telaga itu benar-benar ada, luas dan indah. Dan sungguh sangat indah. Ia hadir dengan nama yang indah pula, Al Kautsar, nikmat yang banyak. Demikian Abdullah bin Abbas, sepupu Nabi SAW menuturkan.
Keindahan fisik telaga itu tergambar dalam banyak sabda Rasulullah SAW. Terdiri dari empat sudut, telaga itu memancarkan kilatan cahaya bagai kilatan cahaya bintang. Jarak antara sudut yang satu ke sudut yang lain ditempuh dengan perjalanan satu bulan Atau ditempuh dengan sejauh perjalanan antara Jarba’ dan Adzruh, dalam riwayat Bukhari. Atau lebih jauh dari jarak antara Ailah dan Aden, dalam riwayat Muslim. Atau antara Aden dan Amman Al Balqa, dalam riwayat Tarmidzi.

Meskipun ukuran panjang atau luas telaga tersebut jaraknya digambarkan dengan ungkapan yang berbeda-beda, tapi ini sama sekali tidak menunjukkan kebimbangan seorang Rasul dalam menyampaikan sesuatu yang hak adanya. Melainkan membuktikan bahwa beliau punya kepekaan yang tinggi untuk meyakinkan lawan bicara atas apa yang disampaikannya. Beliau melakukan itu untuk menyesuaikan dengan siapa beliau berhadapan, bukan ingin membuat orang pusing memikirkan suatu tempat yang tidak dikenalnya. Jika beliau berhadapan dengan penduduk Syiria, beliau menggunakan contoh “antara Adzruh dan dan Jarba”. Jika sedang berhadapan dengan penduduk Yaman, beliau menggunakan contoh “antara Shana’ dan Aden”, dan seterusnya. Terkadang pula ia menggunakan contoh dengan ukuran waktu, seperti sejauh jarak perjalanan sebulan. Semua itu menunjukkan, bahwa telaga Rasulallah memang sangat luas.

Telaga itu diisi dengan air yang putih dan bersih, lebih putih dari susu. Rasanya manis, lebih manis dari madu. Aromanya harum semerbak, lebih harum dari minyak kasturi (HR. Bukhari). Disalah satu sudut telaga terdapat satu sumber yang mengalir dari surga. Juga ada sepasang kran dari surga. Yang satu terbuat dari emas dan satunya lagi terbuat dari perak (HR. Muslim). Orang yang berhasil meminumnya barang seteguk saja, tak akan pernah lagi merasakan kehausan selamanya (HR. Tirmidzi).
Selain sebuah mata air dan sepasang kran dari surga, telaga yang luas itu juga dilengkapi dengan cangkir-cangkir surga yang indah bercahaya. Jumlahnya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang di langit, dimalam yang gelap dan tak berawan. Sungguh sebuah deskripsi yang mengisyaratkan jumlah yang sangat banyak dan kemilau cahaya yang amat gemerlap.

Cangkir-cangkir itu, jika seseorang diizinkan menggunakannya untuk meminum air telaga, ia tidaka akan merasakan kehausan lagi setelahnya. Begitu kata Rasulullah, si pemilik telaga menceritakan keistimewaan telaganya.
Mengapa kita harus sampai dan minum di Telaga itu?
Kehidupan di padang mahsyar adalah mas atransisi dari rangkaian sebuah perjalanan abadi. Di kehidupan itu kita akan menemui beragam kesulitan yang maha dahsyat, yang tak pernah terkirakan oleh siapapun.

Berbaur dengan mahluk dari gololngan jin, disana kita dikumpulkan dan digiring menuju pengadilan Allah SWT, Hakim Yang Maha Bijaksana, dalam keadaan telanjang dan hina dina. Kekuasaan yang pernah diberikan kepada kita dimuka bumi telah dicabut. Kita semua menjadi kerdil dan tak lagi sombong. Kondisi kita waktu itu benar-benar diliputi ketegangan, ketakutan dan kengerian yang tiada tara.

Kita semua berkumpul jadi satu di bawah terik matahari yang menyengat sangat panas. Desah nafas kita terdedngar tersengal-sengal. Tubuh kita berhimpitan satu sama lain, sangat rapat dan tidak ada celah sedikitpun. Keringatpun mengucur dari tubuh kita, jauh membasahi bumi. Mula-mula hanya setinggi mata kaki, lalu semakin naik sesuai deengan martabat kita disisi Allah SWT; apakah kita termasuk orang yang beruntung atau yang celaka. Ada diantara kita yang keringatnya naik sampai sebatas lutut. Ada yang sampai sebatas pinggul. Ada yang sampai sebatas pundak. Ada yang sampai sebatas telinga. Dan bahkan ada yang sampai sebatas ujung kepala, hampir tenggelam dengan keringatnya sendiri. Entah apa yang akan terjadi pad diri kita seandainya hari ini kita meninggal dan belum sempat bertaubat. Mungkinkah keringat itu akan menenggelamkan kita? Hanya Allah yang tahu.

Ibnu Abbas meriwayatkan, “pada hari kiamat nanti, bumi akan diratakan seperti meratakan kulit yang disamak, dan luasnya ditambah sekian dan sekian. Seluruh mahluk berada di tanha yang sama, baik jin maupun manusia. Saat itu tiba-tiba langit dicabut dari para penghuninya (para malaikat), sehingga mereka bertebaran di muka bumi. Padahal jumlah mereka jauh lebih banyak daripada jumlah seluruh mahluk yang ada di bumi.”
Ditambahkan pula, bahwa ketika seluruh mahluk telah berkumpul disuatu tempat Allah Yang Maha Agung memerintahkan kepada malaikat penghuni langit lapis pertama atau langit dunia untuk menguasai mereka (penduduk bumi). Masing-masing malaikat tersebut memgang satu orang untuk dipindahkan ke bumi kedua berwarna putih menyala seperti perak. Dengan membentuk satu lingkaran, malaikat penghuni langit lapis pertama tadi berdiri di belakang mahluk seluruh alam. Ternyata jumlah mereka lebih banyak sepuluh kali lipat dari jumlah seluruh isi alam. Selanjutnya Allah memerintahkan malaikat penghuni langit lapis kedua untuk membentuk satu lingkaran, dan jumlah mereka lebih banyak dua puluh kali lipat. Begitu selanjutnya hingga pad giliran malaikat langit ketujuh yang jumlahnya tujuh kali lipat lebih banyak. Sebuah kehidupan yang sungguh sangat menyesakkan.

Abu Bakar bin Barjan berkata, “Seperti itulah yang terjadi. Seluruh manusia berada disatu tempat. Posisi mereka sama. Tetapi, ada salah satu orang atau sebagian dari mereka yang minum air telaga Rasulullah SAW, sementara yang lain tidak bisa. Ada yang berjalan di kegelapan dan berdesak-desakan dengan diterangi cahaya di depannya, dan juga ada yang berjalan dengan melawan arus keringat sendiri yang hampir menenggelamkannya. Semua itu adalah sebagian balasan dari usaha amalnya sewaktu di dunia. Ada juga sebagian dari mereka yang hanya berada di dekat naungan ‘Arsy.”

Kita berdesak-desakan seperti itu selama seribu tahun, tanpa diajak bicara oleh Allah SWT barang sepatah katapun. Nasib kita sungguh menyedihkan. Kondisi kritis itulah yang memaksa kita berusaha mencari Adam mau memintakan syafa’at kepada Allah untuk kita. Saat itu kita mengatakan kepada Adam, “Engkau adalah bapak manusia. Engkau adalah manusia yang diciptakan Allah langsung dengan tangan-Nya sendiri, para malaikat diperintahkan sujud kepadamu, dan Dia meniupkan ruh-Nya pada dirimu. Sekarang ini kami sedang dalam kesulitan yang sangat besar, maka tolonglah mohonkan syafa’at kepada-Nya untuk kami.” Tapi ternyata, kala itu Adam menyatakan tidak sanggup, sebab dia pernah terusir dari surga karena dosanya.

Sementara kepanikan ini belum selesai, disisi lain kita terus didera kehausan yang belum pernah kita alami sama sekali. Alangkah nikmatnya, jika pada saat itu ada yang menawarkan kepada kita air yang lebih nikmat dari susu dan lebih manis dari madu. Alangkah bahagianya, jika dalam kebingungan itu ada yang menyambut kita dengan senyum tulus tanda cinta dan sayang. Alangkah gembiranya, jika disaat kita terdesak itu ada yang membela kita dengan permohonan ampun dan do’a-do’anya yang menyejukkan.
Hari ini kita belum merasakan kesulitan itu. Hari ini kita masih bisa tertawa. Hari ini kita masih bisa bercanda. Tetapi, suatu saat nanti kita akan mengalami kehausan yang sangat, dan kala itu tidak ada yang diberi minum kecuali yang yang pernah memberi minum orang lain karena Allah, tidak ada yang diberi makan kecuali orang yang pernah memberi makan orang lain karena Allah, tidak ada orang yang diberi pakaian kecuali orang yang pernah memberi pakaian kepada orang lain karena Allah, dan tidak ada yang diberi kepercayaan kecuali orang yang pernah bertawakal kepada Allah.

Di Telaga itu Rasul Menanti
Di telaga itu Rasulullah SAW menanti umatnya, dengan luapan cinta dan kasih sayangnya, menyambut mereka yang sedang kehausan. Beliau sangat mengenali umatnya, karena memang mereka memiliki tanda-tanda yang tidak dipunyai oleh siapapun dari umat lain. “Kalian akan datang kepadaku dengan muka, lengan, dan betis yang berkilauan karena bekas air wudlu,” tegas beliau dalam sabdanya.
Dan, orang yang pertama kali datang menghampiri telaga itu adalah para fakir miskin dari golongan Muhajirin. Tsauban ra meriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Manusia pertama yang akan datang kesana adalah para fakir miskin kaum Muhajirin yang pakaiannya kotor, yang kepalanya berambut kusut, yang tidak menikah dengan wanita-wanita yang hidup sejahtera, dan tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu rumah.” (HR. Ibnu Majah).

Anas bin Malik menambahkan, “Orang pertama yang mendatangi telaga Rasulullah adalah orang-orang yang kurus kering yang puasa dan menetap di masjid. Ketika malam tiba, mereka menyambutnya dengan sedih.”
Ketika mendengar hadits dari Tsauban di atas, Umar bin Khattab menangis sesenggukan sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Ia berkata,”Tetapi, aku menikah dengan wanita-wanita yang hidup sejahtera, dan aku dibukakan pintu-pintu rumah.” Ia amat sedih dan khawatir kalau-kalau tidak dapat merasakan nikmatnya air telaga Rasulullah SAW.
Umar menangis, padahal ia adalah bagian dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Umar menangis, padahal ia termasuk dalam golongan orang-orang yang pertama masuk islam. Umar menangis, padahal ia salah satu prajurit Badar. Umar menangis, padahal Anas bin Malik meriwayatkan ia akan menjadi penjaga salah satu sudut telaga sang Rasul. Umar menangis, padahal ia memiliki banyak keistimewaan disisi Allah dan Rasul-Nya.
Siapakah kita dibanding Umar? Adakah kita pernah menangisi keadaan kita di hari yang menceckam itu? Kita bukan siapa-siapa. Namun anehnya, airmata kita belum pernah setetespun mengalir, menangis karena takut tidak kebagian barang seteguk pun air telaga. Padahal kita tidak tahu bagaimana kondisi kita saat itu, apakah terusir ataukah dibiarkan mendeekat.

Rasulullah SAW bersabda, “Aku terus berada di telaga sampai aku melihat siapa diantara kalian yang datang. Dan beberapa orang yang dilarang mendekati aku, lalu aku katakan, “Wahai Tuhanku, biarkan mereka mendekati aku. Mereka adalah umatku.” Allah bertanya kepadaku, “Tahukah kamu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu? Sesungguhnya sepeninggalmu dahulu mereka murtad.” “Kamu tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.”

Cinta Rasul kepada umatnya tidak akan pudar. Meski ada dari umatnya yang dilarang mendekat, beliau terus berdo’a memohon kepada Allah agar mereka diperkenankan mendekati telaganya. Tapi cinta itu tidak akan berpengaruh pada keselamatan kita jika kita tidak pandai membalas cintanya; dengan mengikuti seruannya dan menghindari larangannya.
Memang, telaga dan semua kenikmatannya itu bukan akhir dari segalanya. Perjalanan kita menuju persinggahan terakhir; surga atau neraka, masih sangat panjang. Setelahnya kita akan menghadapi perhitungan amal yang tidak kalah menegangkan. Lalu amal-amal itu akan ditimbang untuk diberi balasan. Selanjutnya kita akan menuju Shirat dengan terlebih dahulu melewati tujuh jembata, dimana di masing-masing jembatan itu akan ditanyakan keimanan, shalat, puas Ramadhan, zakat, haji dan umrah, mandi wajib dan wudhu, dan kezaliman-kezaliman yang pernah kita lakukan pada sesama manusia. Kata sebagian ulama, kita tidak akan melangkah ke jembatan berikutnya jika pada jembatan sebelumnya kita gagal.

Perjalanan setelah telaga sungguh masih sangat panjang dan berat. Begitupun, bisa mampir dan minum di telaga Rasul itu sungguh sebuah karunia besar. Perjalanan memang belum lagi selesai. Tapi mendapatkan minum dari telaga yang sesudahnya tidak lagi ada haus sungguh sangat didambakan. Itu akan sangat meringankan, dihari ketika segalanya berubah begitu mengerikan, panas, haus dan mencekam.
Hari ini, entah di ujung pelarian mana kita menuju. Tapak demi tapak adalah keniscayaan menuju kematian. Di telaga itu, kelak, Rasul setia menanti. Dengan cinta dan kasih sayangnya. Tak ada yang patut dilakukan, kecuali senantiasa memohon, agar bila tiba saatnya, kita bisa bertemu Rasul di telaga itu, lalu minum sepuas hati.

Disana, di telaga itu, Rasul menanti.

1 komentar:

Cecep EKA mengatakan...

Kunjungi Blog ana yah, di http://www.satummat.blogspot.com
Salam Perjuangan, moga kita bisa bersilaturahmi dalam merekatkan barisan dakwah..