Kamis, 14 Agustus 2008

PESONA JIWA RAGA

Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menarik pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.
Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.
Tapi selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam cinta jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spiritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupak udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.
Biasnya adalah ketidak jujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya jiwa atau raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan” : kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pencinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan diatas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak diantara lapisan-lapisan gelombang magnetic fisik : lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah hubungan jangka panjang sesungguhnya adalah kebajikan jiwa mereka bersama.
Seper empat abad lamanya Rasulullah SAW hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi ada yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, memerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah berfikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah SAW hampir memutuskan untuk tidak akan pernah menikah lagi.
Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang lebih baik darinya, “ kata Rasulullah SAW.
Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan : menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pencinta sepanjang hidup. Pengalaman disekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau”, bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada dipersimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.

Tidak ada komentar: